Memberikan harga pada sebuah desain memang membuat otak menjadi panas. Apalagi jika kita tidak memiliki standar penghitungan dalam membuat harga sebuah desain. Lagi pula, desain (grafis) juga sebuah karya seni. Sebagaimana sebuah lukisan, kita tidak bisa menghargainya dari merek cat minyak yang dipakai, mewahnya sebuah bingkai, atau rumit-tidaknya lukisan yang ditorehkan di kanvas tersebut.
Bicara lokal, lihat saja lukisan karya maestro-maestro kita. Harganya bisa puluhan, bahkan ratusan juta. Padahal art materialnya tidak sampai puluhan juta.
Jika sebuah design fee sudah kita ketemukan, langkah dag-dig-dug berikutnya adalah memperlihatkan penawaran kita di sehelai kertas berjudul "quotation" kepada si klien.
Layaknya sebuah hukum pasar tradisional, calon klien pasti mencoba menekan harga yang telah kita berikan tersebut. Dari situ kita bisa mengetahui seberapa apresiatif-kah calon klien kita.
Dalam sebuah perbincangan, salah seorang teman seprofesi saya pernah membuat sebuah pernyataan yang agak slengean dan fully cengengesan. Dia mengatakan bahwa, jika si klien menawar sedikit sekali, maka calon klien, diibaratkan, sangat mencintai lukisan dan benda-benda bernilai seni tinggi lainnya. Tapi kalau si calon klien menawar setengah dari harga yang kita tawarkan, berarti dia punya lapak di pasar. Atau mungkin, dia adalah pencinta barang-barang di pasar tradisional. Setiap dia menanyakan sebuah harga, tidak sampai lima detik, dia langsung menawar harga tersebut setengahnya.
Memang tidak sepicik pernyataan teman saya di atas tadi. Ada beberapa alasan yang membuat harga desain kita ditawar. Bisa jadi karena standar nilai dari perusahaan, anggaran yang dimiliki, besar-kecilnya perusahaan, dll.
Dengan sedikit informasi tentang gambaran perusahaan atau gambaran personal calon klien, kita akhirnya bisa membuat sebuah harga yang pantas baginya. Tapi kalau harga nan layak tersebut masih juga ditawar? Ya, berarti kita harus berjudi.
Selain uang taruhan, ada modal yang perlu diperhatikan dalam bermain judi. Percaya diri dan teknik bagaimana menggertak lawan!
Kira-kira inilah empat kartu as awal yang diperlihatkan si klien:
1. "Jangan mahal-mahal dong! Kerjaan kita banyak nih!"
Ini saya sebut dengan modus "Pilot Projects". Mungkin si klien benar bahwa pekerjaan promosinya memang segudang. Tapi apa mungkin diberikan ke kamu semua? Kalau calon klien sudah "nantang" begitu, coba kamu tantang lagi dengan: "Boleh saya tahu, kerjaannya apaan aja, Pak?" "Mungkin kita bisa buat paket dengan harga yang kompetitif..."
Nah, kalau si klien "blebab-blebeb" menjawabnya. E... e... Boleh jadi (Quraish Shihab "mode on") dia bohong!
2. "Kompetitor kamu bisa ngasih harga lebih murah dari kamu lho!"
Gertakan paling ampuh yang kedua. Kalau kartu kamu jelek, menyerah saja. Tapi kalau lagi bagus, gertak lagi dengan, "Memang, berapa harga yang ditawarkan kompetitor saya?"
Jelaskan diferensiasi servis kamu ke klien. Misalnya, "Kalau Bapak mendesain di kami, Bapak akan dapat satu nomor undian untuk mendapatkan mobil..!"
3. "Wah, gimana ya? Budget kita nggak segitu tuh! Belum nyetaknya..."
Bertanya balik, "Berapa budgetnya?" Tambahkan, "Kalau perlu Bapak nyetak sekalian di kita aja!"
Ingat, untuk perusahaan besar tertentu, budget untuk berpromosi memiliki toleransi yang bagus.
4. "Desain kamu biasa aja sih! Masak mau dihargai segitu?"
Mending kamu walk-out saja! Jangan lupa ambil kembali dummy yang sudah kamu perlihatkan ke calon klien. Kalau kamu tahu mobilnya, pergi ke tempat parkir kemudian kempesin ban mobilnya.
Punya pengalaman lain? Please comment!
Thursday, September 4, 2008
Harga Mati Desain
Subscribe to:
Post Comments (Atom)

2 comments:
Bener tuh bos!
Lagi-lagi benerrrr..!
Post a Comment